Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia diserbu oleh banyak startup baru. Beberapa diantaranya berhasil unjuk gigi dan jadi salah satu perusahaan yang paling diperhitungkan di Indonesia, Asia bahkan dunia. Namun banyak pula yang akhirnya layu sebelum berkembang.
Menariknya, dari sekian banyak startup yang tumbang, faktor penyebabnya bukan karena ide bisnis yang tidak revolusioner, persaingan usaha atau karena produknya yang tidak diminati masyarakat, melainkan karena faktor klasik yang disebut cash deficit syndrome.
Apa itu Cash Deficit Syndrome?
Secara sederhana, cash deficit syndrome merupakan kondisi ketika perusahaan baru mengalami kesulitan keuangan. Bukan karena keuntungan yang kecil atau produk yang tidak diterima pasar, namun disebabkan karena modal yang kurang dan manajemen laporan keuangan yang buruk.
Menurut penelitian terbaru dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia, 64 persen startup di Indonesia punya masalah dalam menyusun laporan keuangan, meski mereka sadar jika laporan keuangan merupakan masalah yang sangat krusial.
Bagaimanapun juga, sebagai perusahaan baru yang belum punya dana cadangan cukup, mereka sangat rentan dengan budget atau biaya operasional. Di titik inilah mereka sangat butuh tambahan modal dari Investor untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, sekaligus memperkuat posisi bisnis mereka.
Hal ini pun diperkuat dengan pernyataan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), dalam program BEKRAF For Pre-Startup (BEKUP), yang menyebut 3 faktor penyebab startup di Indonesia sulit berkembang, diantaranya
- Banyak startup yang didirikan dengan cara meng-copy atau mengikuti ide dari startup yang sudah ada dan sukses di pasaran.
- Banyak lulusan IT di Indonesia yang tidak menguasai coding, sehingga mereka tidak mampu memenuhi syarat untuk masuk pasar industri digital.
- Banyak startup yang tidak punya modal kuat sehingga menyulitkan mereka untuk berkembang, bahkan tidak jarang mereka akhirnya ‘menghilang’.
Dengan kata lain, lagi-lagi faktor cash deficit syndrome jadi salah satu momok bagi startup Indonesia, bahkan jadi ancaman serius yang bisa membuat mereka gagal berkembang.
Punya Berpotensi Besar
Menurut data terbaru dari Startup Ranking, per Maret 2021 ini Indonesia ternyata sudah punya lebih dari 2.200 startup. Jumlah ini diprediksi akan terus bertambah seiring dengan penetrasi internet di Indonesia yang terus meluas, bahkan kini sudah mampu menjangkau wilayah terpencil.
Menurut data We Are Social, jumlah pengguna internet di Indonesia kini sudah mencapai 150 juta dari total populasi sebesar 268,2 juta jiwa di tahun 2019. Kondisi ini secara tidak langsung menyebabkan potensi industri digital di Indonesia pun akan semakin meningkat.
Kehadiran startup digital Indonesia yang berhasil meraih kesuksesan, seperti GoJek, OVO, dan lainnya, ternyata turut memberi dampak positif pada kemunculan startup baru, baik yang terinspirasi dari startup lama, maupun yang datang dengan ide lebih segar.
Menurut Head of Strategy & Insights Google Southeast Asia, Samuele Saini, pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia akan membuat investor tertarik menanamkan modalnya. Hal ini dibuktikan dengan beberapa perusahaan, seperti Google yang telah menyuntikan dananya kepada startup Indonesia.
Kedatangan para pemodal asing ini diharapkan akan membuat para pemodal lokal pun ‘tersulut’, hingga akhirnya tertarik untuk menyuntikan dananya di startup Indonesia. Dengan demikian, masalah klasik, seperti cash deficit syndrome bisa segera terselesaikan.