Bagi masyarakat Indonesia, sertifikat halal dalam sebuah produk merupakan hal yang sangat penting. Maka dari itu, sebuah produk baru umumnya akan kesulitan berkembang, bahkan tidak akan dilirik konsumen jika belum menyertakan logo halal dalam kemasannya.
Namun untuk membuat sertifikat halal bagi UMKM bukanlah hal yang mudah. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan, termasuk uji bahan dan sampel makanan, hingga biaya yang cukup tinggi. Tentu ini menyulitkan bagi UMKM yang baru berjuang memperkenalkan produknya kepada publik.
Omnibus Law Mudahkan Bikin Sertifikat Halal
Nah dalam Undang-undang Cipta Kerja yang sempat menuai polemik di akhir tahun kemarin, masalah kesulitan tersebut bisa teratasi dengan mudah. Dengan sejumlah aturan baru yang lebih dirampingkan, kini mengurus sertifikasi halal jauh lebih mudah dan irit biaya, terutama bagi UMKM.
Dalam keterangannya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto menjelaskan jika pemerintah akan terus berupaya memberi kemudahan kepada para pengusaha untuk mengembangkan bisnisnya, termasuk memberi kemudahan dalam mendapatkan sertifikat halal.
Dalam UU Cipta Kerja, pemilik UMKM bisa mengembangkan usahanya menjadi Perseroan Terbatas (PT) dengan hanya melengkapi menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Nah, pendaftaran ini ternyata berlaku juga untuk proses pembuatan sertifikat halal bagi UMKM.
Dalam kesempatan yang sama, Airlangga kemudian menjelaskan jika batasan minimum modal untuk UMKM yang ingin meningkatkan statusnya menjadi PT pun akan disesuaikan. Dalam aturan sebelumnya, modal dasar yang harus dimiliki sebuah PT minimalnya 50 juta.
Dengan kata lain, kebijakan yang tertuang dalam UU Cipta Kerja, semuanya dihadirkan untuk melakukan restrukturisasi pada ekosistem memulai berusaha dengan memotong beberapa proses yang dinilai berbelit, dan dinilai menyulitkan usaha kecil untuk berkembang.
Turunan Produk Hukum Masih Diproses
Dalam aturan sebelumnya, peraturan tentang sertifikat halal ini tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), yang masih bersifat umum dan dinilai butuh turunan hukum yang lebih detail
Sementara untuk Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH), produk hukum ini hanya menggambarkan proses pembuatan sertifikat halal bagi UMKM secara umum, belum menyentuh hal-hal yang bersifat teknik.
Untuk masalah biaya pembuatan sertifikat halal, masalah ini kini sedang ditangani oleh pihak Kementerian Keuangan. Dalam keterangannya, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Andin Hadiyanto menjelaskan jika proses sinkronisasi JPH dengan produk hukum lainnya, akan hadir dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Regulasi yang baru ini nantinya akan lebih fokus kepada pemberian akses dan keberpihakan kepada dunia usaha, terutama UMKM yang kerap mengeluhkan sulitnya mendapat sertifikat halal, terutama dalam hal pembiayaan.
Detail peraturan tersebut memang masih belum dirilis. Namun sambil menunggu perilisannya, proses sertifikasi halal masih bisa dilayani dengan memakai tarif eksisting. Kemudahan ini sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang JPH.
Sementara itu, sebelumnya Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjelaskan jika nantinya UMKM akan mendapatkan keistimewaan dengan biaya sertifikasi halal nol Rupiah alias gratis.
Sertifikat halal bagi UMKM tersebut akan diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), dengan masa berlaku 4 tahun, dan wajib diperpanjang 3 bulan sebelum masa berlakunya habis dengan menyertakan surat pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi.