Sejak dahulu kala Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Artinya, Indonesia ini dikenal sebagai negara yang menggantungkan sektor perekonomiannya kepada bisnis pertanian. Hal ini didukung dengan iklim tropis dan tanah Indonesia begitu subur.
Meskipun share Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi di Indonesia bukan dari sektor pertanian, melainkan industri, bahkan kini hampir disalip dengan sektor perdagangan, namun dalam beberapa tahun belakangan ini sektor pertanian Indonesia mulai bangkit.
Bahkan selama masa pandemi, sektor pertanian terbukti jadi yang paling bersinar dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 14,03 persen. Terlebih saat ini sudah banyak metode pertanian baru yang berhasil dijalankan masyarakat Indonesia, yang membuat minat bertani kembali tumbuh.
Menanggapi hal ini, peneliti LPEM-UI, Riyanto menilai jika kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia sudah semestinya menempatkan sektor pertanian sebagai salah satu prioritas. Hal ini disebabkan karena sektor pertanian punya masa depan yang cukup cerah.
Selain itu, bisnis pertanian pun menyangkut hak hidup orang banyak, termasuk meningkatkan ketahanan pangan negara. Jika ‘dipelihara’ dengan baik, bukan tidak mungkin sektor pertanian ini akan kembali menduduki posisi tertinggi share Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Namun sayang, Riyanto menilai sektor pertanian selama ini cenderung dikesampingkan, dan bahkan terkesan tidak ada prioritas pembangunan untuk sektor ini. Program yang ada saat ini hanya polesan dari program-program lama, tanpa ada inovasi yang pasti.
Amanat Mantan Presiden Soekarno
Menjaga dan mengembangkan sektor pertanian merupakan salah satu amanat yang dibebankan oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Hal ini beliau ungkapkan dalam acara peletakan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor, di tahun 1952.
Ketika itu, Indonesia mengalami defisit 0,7 juta ton beras. Untuk menutupi defisit tersebut, pemerintah terpaksa harus mengimpor beras dari Saigon dan Siam. Meski hingga Soekarno lengser di tahun 1965, faktanya Indonesia masih belum mampu lepas dari ketergantungan impor.
Soeharto kemudian melanjutkan semangat tersebut dengan mencanangkan swasembada pangan di tahun 1980. Ketika itu, penguasa Orde Baru tersebut mencanangkan “strategi kembar”, yakni strategi jangka pendek untuk mencapai stabilitas harga beras, dan swasembada untuk jangka panjang.
Hasilnya cukup positif, di tahun 1984, dalam perayaan hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November, Soeharto mengumumkan jika Indonesia telah bisa memenuhi beras dari sawahnya sendiri, alias telah berhasil mencapai swasembada beras.
Ketika itu produksi beras diklaim mencapai 27 juta ton, dan jumlah yang dikonsumsi masyarakat Indonesia sebesar 25 juta ton, atau surplus 2 juta ton. Pidato tersebut bahkan membuat Organisasi Pangan Sedunia (FAO) kepincut, dan mengundang Soeharto untuk berpidato di Italia pada 1986.
Namun sayang, kemampuan Indonesia swasembada pangan hanya bisa bertahan beberapa tahun saja. Memasuki tahun 1990, Indonesia kembali mengimpor beras. Bahkan di tahun 1995, Indonesia mengimpor hingga 3 juta ton beras. Fakta yang sangat miris.
Hingga saat era Reformasi tiba, bisnis pertanian di Indonesia ini tidak pernah mengalami perbaikan. Indonesia tidak lagi mampu mencapai swasembada pangan.
Tantangan besar menanti anak muda Indonesia. Dengan jumlah lahan pertanian yang semakin terbatas, mampukan Indonesia kembali mencapai swasembada pangan? Tentu saja semua itu harus dilakukan dengan strategi dan penerapan teknologi pertanian yang mumpuni.