Di tengah pandemi Covid-19, aktivitas pinjaman online meningkat tajam, bahkan hampir mencapai 100 persen. Hal ini diungkapkan dalam data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terkait aktivitas pinjaman online fintech lending sepanjang tahun 2020.

Dalam rilis tersebut dijelaskan jika akumulasi pinjaman online meningkat jadi 146,25 triliun per November 2020. Angka ini naik 96,19 persen jika dibandingkan dengan data November 2019 yang hanya mencatatkan angka 74,54 triliun.

Didominasi Kaum Millenial

Lebih lanjut lagi, pihak OJK menjelaskan jika peningkatan jumlah pengguna fintech lending berbanding lurus dengan jumlah pemberi pinjaman, atau lender. Akumulasi rekening borrower, atau peminjam dana tumbuh hingga 136,33 persen, atau sebanyak 40,75 juta entitas.

Sementara untuk rekening pemberi pinjaman atau lender, mengalami kenakan hingga 19,26 persen atau mencapai angka 705.643 entitas. Menariknya, data tersebut menjelaskan jika jumlah pengguna pinjaman online adalah kaum milenial dengan angka mencapai 67,35 persen.

Hal yang sama terjadi di kalangan lender, di mana kaum milenial mendominasi dengan angka mencapai 66,30 persen, dengan jumlah penyelenggara mencapai 153 fintech lending yang terdaftar OJK.

Dari total fintech lending tersebut, 36 penyelenggara telah mengantongi izin usaha penuh dari regulator, sementara 10 dari total penyelenggara menjalankan bisnis dengan konsep syariah.

Tahun 2021 Masih Tetap Berjaya

Peningkatan jumlah pengguna fintech lending ini diapresiasi langsung oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Bahkan pihak AFPI memprediksi jika tahun 2021, jumlah peminjam dana di fintech lending akan terus meningkat hingga 86 triliun.

Direktur Eksekutif AFPI, Kuseryansyah mengaku cukup terkejut dengan peningkatan drastis pengguna fintech lending, Menurutnya, adaptasi dari machine learning atau credit scoring berjalan sangat cepat, sehingga kesiapan pertumbuhan sudah terlihat nyata.

Seagai catatan, awal tahun 2020 kemarin AFPI sempat memprediksi jika memproyeksi pinjaman fintech lending hanya mencapai angka 86 triliun. Namun karena pandemi Covid-19 makin mengganas, mereka kemudian merevisi proyeksi menjadi 60 triliun saja.

Untuk kedepannya, AFPI yakin fintech lending akan terus berkembang seiring dengan banyaknya pihak perbankan yang menggandeng fintech lending sebagai mitra dalam menyalurkan dana program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Saat ini baru ada 6 platform yang mengikuti program tersebut.

Waspada Dengan Fintech Lending Ilegal

Peningkatan jumlah pengguna fintech lending memang kabar menggembirakan, namun kamu juga harus tetap waspada dengan fintech lending ilegal yang belakangan ini semakin berkembang dan makin aktif menjerat korban dengan iming-iming kemudahan, proses cepat dan lainnya.

Agar tidak jadi korban fintech lending ilegal, OJK mengajak kamu untuk memperhatikan beberapa ciri utama mereka, diantaranya adalah: 

  1. Fintech lending ilegal mengenakan kebijakan bunga tinggi, denda dan biaya lainnya yang tidak ajar. Mereka bahkan tidak menjelaskan hal ini dalam perjanjian.
  2. Proses penagihan dilakukan dengan cara yang tidak beretika, terkadang dengan intimidasi, ancaman, dan tentu saja dilakukan oleh penagih yang tidak bersertifikat.
  3. Proses verifikasi data sangat tidak masuk akal. Mereka tidak hanya mengakses data lewat lokasi, kamera, dan mikrofon, tapi sudah menyentuh area yang sangat pribadi.
  4. Fintech lending ilegal tidak punya layanan pengaduan yang tetap.
  5. Lokasi kantor fintech lending ilegal tidak jelas, bahkan beberapa diantaranya ada yang dioperasikan di luar negeri. Ini sangat berbahaya karena kasus akan sulit diselesaikan.

OJK kemudian menyarankan agar kamu tidak terburu-buru dalam mengajukan pinjaman. Pikirkan dulu dengan matang, dan pastikan memilih fintech lending yang resmi dan terdaftar di OJK.